Fakta sains :bebek pun MANDI JUNUB

Riset Al-Qur'an & Sains: BEBEKPUN MANDI
JUNUB
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Dan apabila
kamu junub, maka hendaklah kamu mandi. Dan
apabila kamu sakit atau musafir atau habis
buang air atau mencampuri wanita, dan tidak
memperoleh air, maka tayamumlah dengan
tanah yang bersih.(A1-Maidah: 6)
Dalam majalah A1 Mustaqbal terbitan Riyadh,
Agustus 1998, Dr. A.M Bah, Ketua Islamic
Guidance Society, menulis tentang keajaiban
dunia satwa. Seorang petani Afrika Barat
mengamati perilaku bebek di pinggiran Kota
Conakry, Republik Guinea. Dia tercengang
ketika mendapati bebek-bebek tersebut selalu
mandi di kolam atau genangan air setiap habis
berkawin. Tetapi dia lebih terkejut lagi ketika
memperhatikan jika di tempat itu tidak ada air,
bebek-bebek itu lantas “mandi” dipasir. Persis
sebagaimana diatur Allah bagi manusia untuk
mandi junub setelah bercampur, dan bila tidak
mendapati air diharuskan bertayamum.
Subhanallah! Nampaknya bebek Afrika lebih
“beradab” daripada manusia-manusia modern
yang habis bercampur langsung pakai baju
dan berlalu begitu saja.
Al Quran mengisyaratkan bahwa kita bisa
belajar dari binatang.
Dalam surat An-Nahl ayat 66 Allah swt.
berfirman, “ Wa inna lakum fil an’ami la
‘ibratan”, sesungguhnya pada binatang ternak
ada pelajaran bagimu. Manusia dari awal
sudah belajar dan burung. Surat Al Maidah
ayat 31 berbunyi, “Faba’atsallahu ghuroban
yabhatsu fil¬ardli liyuriyahu kaifa yuwaari
saw-ata ahihi” menjelaskan ketika anak Nabi
Adam, Qabil membunuh saudaranya, Habil,
Allah swt. mengutus burung gagak untuk
mengajarkan cara mengubur mayat
saudaranya. Burung hud-hud menjadi
kepercayaan Nabi Sulaiman dalam mencari
informasi luar negeri dan membawa surat
diplomatik kepada Ratu Bilqis, ini tercantum
dalam surat An-Naml ayat 20-28.
Ada yang meyakini bahwa burung hud-hud
merupakan jenis woodpecker. Burung ini
menurut Harun Yahya membuktikan salah satu
keajaiban ciptaan Allah. Berdasarkan laporan
di Jurnal Deutscher Tachen Buch Verlag,
Oktober 1993, burung itu bisa melobangi
batang kayu yang keras dengan paruhnya yang
lancip, dengan kecepatan 43 kali patukan per
detik tanpa merasa kesakitan. Kalau manusia
melakukan ini dia akan gegar otak, karena
ibarat memukul paku ke tembok dengan
kepala. Ternyata tengkorak burung hud-hud
memiliki sistim suspensi luar biasa, rahang
dan urat mukanya sangat kokoh sehingga bisa
meredam efek pukulan yang kuat selama
pematukan. Allahu Akbar.
Setiap pagi buta ayam jantan, sejenis burung
juga, diperintah Allah swt. mengajari manusia
untuk bangun dengan cara berkokok secara
rutin saat shalat subuh. Dalam surat Al
An’aam ayat 38 Allah swt. menyatakan bahwa
burung-burung itu merupakan komunitas
seperti manusia, “Wama min daabbatin filardi
wala tho-irin yatiru bijanahaihi ilaa umamun
amtsalakum” Dan tidaklah binatang melata di
bumi dan burung yang terbang dengan
sayapnya di udara kecuali mereka merupakan
umat semisal kamu.
Bebek juga merupakan sejenis burung berkaki
ceper yang bisa berenang, termasuk dalam
famili Anatinae dan ordo Anseriformes.
Sebagai sesama umat, tidak mustahil mereka
kadang-kadang berperilaku mirip manusia.
Memang untuk itu diperlukan penelitian lebih
lanjut dan mendalam. Apakah unggas lain juga
punya perilaku lain yang mirip dengan
ketentuan agama? Apakah dampak positif
mandi junub bagi si bebek itu dalam proses
reproduksi? Apakah manfaat itu juga bisa
berlaku bagi manusia?
Ini merupakan tantangan besar bagi para
sarjana muslim ahli ilmu hewan. Sehingga
selain sibuk dengan flu burung juga bisa
menggali keterkaitan ajaran Islam dengan
perilaku burung. Bila penelitian itu
membuktikan kebenaran Al Quran, sehingga
semakin memantapkan iman, jadilah itu riset
yang bernilai jihad fi sabilillah

Asal usul nama indonesia

Asal Usul Nama Indonesia
PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita
disebut dengan aneka nama. Dalam catatan
bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita
dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan).
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai
kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah
Seberang), nama yang diturunkan dari kata
Sansekerta “dwipa” (pulau) dan “antara” (luar,
seberang). Kisah Ramayana karya pujangga
Valmiki yang termasyhur itu menceritakan
pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang
diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa
(Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang
terletak di Kepulauan Dwipantara..
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir
al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk
kemenyan adalah “benzoe”, berasal dari
bahasa Arab “luban jawi” (kemenyan Jawa),
sebab para pedagang Arab memperoleh
kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana
yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra..
Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering
dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan
orang Indonesia luar Jawa sekalipun.
“Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi
(Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa),”
kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke
Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali
datang itu beranggapan bahwa Asia hanya
terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi
mereka, daerah yang terbentang luas antara
Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”.
Semenanjung Asia Selatan mereka sebut
“Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara
dinamai “Hindia Belakang”.
Sedangkan tanah air kita memperoleh nama
Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian
Archipelago, l’Archipel Indien) atau Hindia
Timur (Oost Indie, East Indies, Indes
Orientales). Nama lain yang juga dipakai
adalah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel,
Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa
Belanda, nama resmi yang digunakan adalah
Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda),
sedangkan pemerintah pendudukan Jepang
1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia
Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887),
yang dikenal dengan nama samaran Multatuli,
pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk
menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu
Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan
Hindia” (bahasa Latin “insula” berarti pulau).
Tetapi rupanya nama “Insulinde” ini kurang
populer. Bagi orang Bandung, “Insulinde”
mungkin cuma dikenal sebagai nama toko
buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene
Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal
sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari
adik Multatuli), memopulerkan suatu nama
untuk tanah air kita yang tidak mengandung
unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah
Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam
berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil
nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman
Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir
abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A.
Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas
Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian
Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh
berbeda dengan pengertian, nusantara zaman
Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara
digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di
luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta
artinya luar, seberang) sebagai lawan dari
“Jawadwipa” ( Pulau Jawa). Kita tentu pernah
mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada:
”Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti
palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau
seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman
Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi
pengertian yang nasionalistis. Dengan
mengambil kata Melayu asli antara, maka
Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu
“nusa di antara dua benua dan dua samudra”,
sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi
nusantara yang modern. Istilah nusantara dari
Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer
penggunaannya sebagai alternatif dari nama
Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita
pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air
kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi
nama resmi bangsa dan negara kita adalah
Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana
gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu
ini muncul nama Indonesia.
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah
majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian
Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang
dikelola oleh James Richardson Logan
(1819-1869), orang Skotlandia yang meraih
sarjana hukum dari Universitas Edinburgh.
Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli
etnologi bangsa Inggris, George Samuel
Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan
diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman
66-74, Earl menulis artikel “On the Leading
Characteristics of the Papuan, Australian and
Malay-Polynesian Nations”. Dalam artikelnya
itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya
bagi penduduk Kepulauan Hindia atau
Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas
(a distinctive name), sebab nama Hindia
tidaklah tepat dan sering rancu dengan
penyebutan India yang lain. Earl mengajukan
dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia
(“nesos” dalam bahasa Yunani berarti pulau).
Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: “… the
inhabitants of the Indian Archipelago or
Malayan Archipelago would become
respectively Indunesians or Malayunesians.”
Earl sendiri menyatakan memilih nama
Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada
Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab
Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu,
sedangkan Indunesia bisa juga digunakan
untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives
(Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah
bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan
ini? Dalam tulisannya itu Earl memang
menggunakan istilah Malayunesia dan tidak
memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman
252-347, James Richardson Logan menulis
artikel “The Ethnology of the Indian
Archipelago”. Pada awal tulisannya, Logan pun
menyatakan perlunya nama khas bagi
kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian
Archipelago” terlalu panjang dan
membingungkan. Logan memungut nama
Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf “u”
digantinya dengan huruf “o” agar ucapannya
lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul
di dunia dengan tercetak pada halaman 254
dalam tulisan Logan: “Mr. Earl suggests the
ethnographical term Indunesian, but rejects it
in favour of Malayunesian. I prefer the purely
geographical term Indonesia, which is merely a
shorter synonym for the Indian Islands or the
Indian Archipelago.”
Ketika mengusulkan nama “Indonesia”
agaknya Logan tidak menyadari bahwa di
kemudian hari nama itu akan menjadi nama
bangsa dan negara yang jumlah penduduknya
peringkat keempat terbesar di muka bumi.
Sejak saat itu Logan secara konsisten
menggunakan nama “Indonesia” dalam
tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun
pemakaian istilah ini menyebar di kalangan
para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di
Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian
(1826-1905) menerbitkan buku “Indonesien
oder die Inseln des Malayischen Archipel”
sebanyak lima volume, yang memuat hasil
penelitiannya ketika mengembara ke tanah air
kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian
inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia”
di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat
timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu
ciptaan Bastian.
Pendapat yang tidak benar itu, antara lain
tercantum dalam “Encyclopedie van
Nederlandsch-Indie” tahun 1918. Padahal
Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari
tulisan-tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula
menggunakan istilah “Indonesia” adalah
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913
beliau mendirikan sebuah biro pers dengan
nama Indonesische Pers-bureau.
Makna Politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia”
yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi
dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan tanah air kita,
sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki
makna politis, yaitu identitas suatu bangsa
yang memperjuangkan kemerdekaan!
Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga
dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan
Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad
Hatta, seorang mahasiswa Handels
Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di
Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa
Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk
tahun 1908 dengan nama Indische
Vereeniging) berubah nama menjadi
Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan
Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra,
berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang
(de toekomstige vrije Indonesische staat)
mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak
“Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan
kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami
nama Indonesia menyatakan suatu tujuan
politik (een politiek doel), karena
melambangkan dan mencita-citakan suatu
tanah air di masa depan, dan untuk
mewujudkannya tiap orang Indonesia
(Indonesier) akan berusaha dengan segala
tenaga dan kemampuannya.“
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo
mendirikan Indonesische Studie Club pada
tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan
Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun
1925, Jong Islamieten Bond membentuk
kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij
(Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air
yang mula-mula menggunakan nama
“Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia”
dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa
dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-
Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928,
yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota
Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman
Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho
Purbohadidjojo, dan Sutardjo
Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada
Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia”
diresmikan sebagai pengganti nama
“Nederlandsch- Indie”. Tetapi Belanda keras
kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-
mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan
jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada
tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia
Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada
tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat
Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik
Indonesia.